Toxic Relationship

Mencintai dan dicintai adalah salah satu fitrah manusia yang harus dipenuhi. Jika tidak, maka berbagai masalah baru akan berdatangan karena salah satu hal yang paling fundamental dalam hidup manusia tak terpenuhi: cinta. Idealnya, sepasang kekasih yang saling mencintai harus saling menguatkan. Menjadi teman bertumbuh satu sama lain ke arah yang lebih baik.


Di dunia ini tidak ada satupun manusia yang menginginkan sebuah hubungan percintaan (menikah) berakhir tragis hanya karena tidak mengenal siapa yang akan menjadi partner hidupnya hingga jatah usia di dunia ini habis. Oleh karena itu berbondong-bondong muda-mudi melakukan pendekatan-pendekatan secara lahir maupun batin. Mereka mulai coba-coba memasuki dunia pacaran. Tidak sedikit diantara mereka yang berpacaran hanya mengikuti arah pergaulan remaja yang menganggap bahwa memiliki pacar adalah suatu hal yang keren. Pacar mereka hanya sebagai ajang pamer kepada kawan seusianya, hanya sebatas itu.

Namun, banyak pula diantara mereka yang memaknai pacaran sebagai fase awal dalam membangun sebuah bahtera keluarga yang diidamkan banyak orang. Keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Fase ini menjadi sangat penting untuk menseleksi orang seperti apa yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak; yang akan menemani setiap proses jatuh bangun dalam mencapai titik tertinggi kesuksesan hidup. Bagi sebagian orang bagian terindah dalam fase ini adalah saat kita menemukan (finally…).


Tapi, sedihnya, tidak semua orang seberuntung itu. Bukannya menemukan seorang tambatan hati yang menjadi pelipur lara saat suka maupun duka, justru sebaliknya. Banyak orang malah kehilangan dirinya sendiri. Terjebak dalam hubungan beracun seperti bisa ular yang mematikan. Pacaran dijadikan sebagai legalitas untuk melakukan sesuatu di luar batas atas keinginan sepihak tanpa memperhatikan kerelaan pihak lain.

Hak-hak pribadi sebagai seorang manusia yang utuh direnggut tanpa ampun. Pacaran dijadikan sebagai legalitas kepemilikan layaknya sebuah barang yang bisa diatur begitu saja sekehendak hati. Ingin menyalahkan tapi sisi lain hati menolak karena sisi sebelahnya telah dipenuhi bumbu cinta.
Data dari Komnas Perempuan tahun 2020 menunjukkan angka kekerasan dalam pacaran yang cukup tinggi, yaitu sebesar 16%. Artinya bahwa sebenarnya hal-hal demikian memiliki kemungkinan besar kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. 16% hanyalah angka statistik yang berhasil turut masuk perhitungan, belum lagi kasus-kasus yang masih belum terungkap dan terdeteksi kejadiannya. Seperti filosofi gunung es, banyak sekali yang masih tersembunyi.


Beberapa bulan yang lalu, ada seorang teman yang tiba-tiba datang menceritakan hubungan percintaannya yang kandas dengan pacarnya. Entah sudah putus yang ke berapa kali, saking seringnya mengalami putus nyambung. Putus-nyambung puluhan kali dengan alasan yang susah sekali diterima akal sehat. Pacarnya sering mengajaknya makan di luar dan mampir sebentar di supermarket untuk belanja keperluan pribadi sebagai seorang laki-laki tampan. Tapi ujung-ujungnya yang disuruh membayar adalah si perempuan. Pemerasan lain yang pernah dilakukan adalah sering menyuruh membeli makanan dan barang-barang yang diinginkan, bersembunyi dibalik kata “Besok aku ganti, ya”. Dan kekerasan paling fatal yang pernah dilakukan adalah menghina fisik perempuan secara langsung. Tubuh gemuk, wajah kurang putih, dan hal-hal lain yang menurut bintang iklan sabun tidak ada pada diri si perempuan. Ikrar untuk saling mencintai seharusnya mengandung konsekuensi untuk menerima kelebihan dan kekurangan pasangan, bukannya malah menjadi boomerang yang diangkat ketika terjadi perselisihan.


Kekerasan dalam pacaran memang sulit terdeteksi. Karena kita merasa dicintai dan disakiti dalam waktu yang bersamaan. Sehingga korban cenderung sulit mengambil keputusan untuk berhenti. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk terlibat dalam sebuah hubungan percintaan tanamkan pada diri bahwa hubungan yang baik tidak akan menggunakan kekerasan-sedarurat apapun keadaannya karena tidak ada keadaan yang bisa ditolerir untuk membenarkan kekerasan dalam sebuah hubungan. Pacaran yang baik tidak mengekang kebebasan, memaksakan kehendak sepihak, bukan ajang adu kekuatan sehingga tidak boleh ada pukul-pukulan, bukan ajang pamer sehingga tidak boleh ada pihak yang meninggikan diri dengan merendahkan derajat yang lain. Pacaran adalah fase awal dalam membangun singgasana kehidupan cinta yang abadi. Fase untuk saling menemukan kecocokan antar satu sama lain. Jika yang ditemukan justru ketidakcocokan maka segera ambil keputusan untuk mengakhiri dengan cara yang baik, seromantis saat pertama kali mengutarakan perasaan cinta. Tantangan sebetulnya adalah bagaimana kita mampu mengolah emosional dan pola pikir kita sebagai individu. Tidak boleh menyakiti orang lain sebagaimana kita tidak ingin disakiti (baik verbal maupun fisik). Agar kita bisa memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.


Secara umum, tujuan akhir dari pacaran adalah sampai pada jenjang hubungan yang lebih serius (menikah). Dan pernikahan bukanlah hal yang bisa diuji coba begitu saja. Ia adalah ikatan sakral yang harapannya hanya dilakukan sekali dalam seumur hidup. Kaitannya dengan kekerasan yang ditemukan dalam hubungan pacaran, jika sejak masih dalam fase pacaran sudah ditemukan indikasi-indikasi kekerasan yang dilakukan pasangan maka tidak ada satu hal pun yang menjamin ia akan mengentikan tindakan kekerasannya saat sudah menikah nanti. Sebab menikah tidak sebercanda itu, bukan ajang uji coba. Perubahan seseorang tidak bisa dijamin hanya karena prosesi akad telah diselesaikan. Menikah adalah fase hidup untuk tumbuh bersama seorang manusia pilihan. Meraih mimpi sebagai pribadi dan sebagai pasangan.
Lantas, apa jadinya sebuah rumah tangga jika terjadi kekeliruan dalam menentukan calon pasangan? Kekerasan yang ditolerir dalam hubungan pacaran akan terus berlanjut dan berdampak hingga jenjang berikutnya. Akhirnya angka kekerasan dalam rumah tangga akan semakin tinggi akibat dari kekerasan yang dipermaklumkan dalam hubungan pacaran.


Satu hal yang penting untuk diperhatikan sebagai individu sebelum memutuskan untuk terlibat dalam sebuah komitmen hubungan. Pastikan diri kita sudah ter-edukasi dengan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dan yang harus diantisipasi dalam hubungan pacaran. Pastikan kehadiran seseorang tidak membuat kita kehilangan diri kita sendiri, membuat kita kehilangan value positif yang telah kita jaga selama ini, dan jangan sampai keterlibatan kita dalam suatu hubungan membuat kita kehilangan hak-hak kita sebagai individu yang utuh dan merdeka. Karena hadirnya cinta harusnya membuat kita menjadi lebih kuat, bersinar, dan berdaya. Bukan sebaliknya.

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai